Selasa, 04 Januari 2011

Merapi Mulai Mereda,Yogyakarta Masih Memanas


Menyimak rencana Pemerintah Republik Indonesia mengajukan RUU DI Yogyakarta, ke Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, layaknya telah memperlihatkan keadaan bahwa masyarakat Yogyakarta sampai dengan saat ini masih belum bisa lepas dari kondisi status “siaga”. Berbeda dengan status sebelumnya, status siaga kali ini tidak berkaitan dengan fenomena gunung merapi, akan tetapi berkaitan dengan iklim dialetika perpolitikan yang sedang berkembang saat ini di Yogyakarta. Dialetika ini muncul berkenaan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Yogyakarta tentang penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dialetika ini menarik  sekali untuk disimak, dikarenakan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tidaklah sama dengan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur di daerah-daerah lain. Hal ini mengingat eksistensi kedekatan rakyat Yogyakarta dengan Keraton Yogyakarta.
Keadaan demikian menjadi sangat kontroversi apabila Keistimewaan Yogyakarta kemudian dinilai sebagai bagian dari monarki, sedangkan berdasarkan konsep ketata negaraan Indonesia yang ada adalah Indonesia sebagai negara kesatuan yang berbentuk Republik. Pertanyaan kemudian adalah apakah Keistimewaan Yogyakarta bertabrakan dengan konstitusional Negara Republik Indonesia? Terhadap pertanyaan tersebut jelas mengisyarakatkan adanya pro kontra yang berkembang dimasyarakat, bahwa masyarakat yang pro akan menilai dan mungkin beranggapan bahwa hal itu merupakan bentuk penegakan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan pendapat masyarakat yang kontra akan RUU tersebut, mungkin beranggapan bahwa RUU DIY mengandung kepentingan politik untuk melemahkan Keistimewaan Keraton Yogyakarta.
Terlepas dari pro dan kontra tersebut bila ditinjau berdasarakan konstitusional Negara Republik Indonesia, bukankah ketentuan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18B UUD 1945 ayat (1) dan (2) telah melahirkan peraturan pelaksanaan tentang otonomi daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Misalnya seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua , dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Kalaupun kemudian didalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan “Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai Kepala Daerah Propinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara DEMOKRATIS". Frase yuridis "demokratis" dimaksud apakah harus melalui PEMILU?. Tentunya apabila merujuk kepada UUD 1945, penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur melalui PEMILU tidaklah diartikan sebagai ketentuan konstitusional yang bersifat mutlak dan absolut. Hal ini mengapa, dikarenakan didalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah mengisyaratkan bahwa PEMILU hanya diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan wakil, dan DPRD.  Sehingga apabila penetapan Gubernur dan Wakil Gurbenur DIY tidak diselenggarakan melalui PEMILU, bukan berarti penetapan itu yang bertabrakan dengan kontitusi maupun nilai-nilai demokrasi untuk menentukan RUU Keistimewaan DIY. Lebih dari itu, bukankah pengakuan dan penghormatan atas satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, di era pasca reformasi mendapat porsi lebih daripada era sebelumnya (orde lama-orde baru). Andaipun RUU DIY kemudian disahkan menjadi undang-undang, pengesahan RUU DIY diharapkan mampu menjawab pelaksanaan Good Civil Gorvenance.
(http://www.facebook.com/home.php#!/note.php?note_id=174150945937489)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar